Main



Main

Di atas dipan bambu aku masih setia menuggu teman-temanku yang tengah asik memainkan permainan bola sodok. Aku memutuskan untuk tidak ikut bergabung dengan mereka dikarenakan ketidaktertarikanku akan permainan itu. Siang itu aku dan teman-temanku menuju sebuah rumah yang terletak di tengah sawah dan lapangan terbuka yang mungkin dulunya adalah sawah juga atau ladang para warga sekitar. Itulah tempat dimana teman-teman ku bermain billiard, sebuah rumah panggung yang dihalaman sampingnya terdapat sebuah meja billiard, yah hanya sebuah. Pemilik rumah tersebut menyewakan meja billiardnya dengan tarif 1500 rupiah untuk satu kali permainan.
Siang yang sebenarnya panas, tidak terlalu terasa bagi kami sebab tempat yamg kami datangi berada di dataran yang terbuka sehingga angin leluasa meniupkan kesejukkannya dan meredam panas sang surya. Selain itu halaman samping rumah sang pemilik meja billiard diteduhi kerindangan pohon jambu air, makanya halaman yang beratapkan asbes itu tidak terasa menyiksa dengan kesumpekkan layaknya gudang yang biasa beratapkan asbes.
Hiburan yang kami mainkan sebenarnya terkemas dengan cara yang unik dan kompatibel dengan kehidupan dan kemampuan ekonomis penduduk sub-urban. Coba kau perhatikan, berapa uang yang biasa dihabiskan para penggila olahraga satu ini jika mereka bermain di rumah billiard yang ada di kota-kota besar. Tadi ku bilang ada keunikan di sini, karena menurutku billiard sangat lekat dengan citra kehidupan kaum berduit dan berbanda sedang di sini ku menemukan bahwa billiard bisa dikemas dengan kemasan yang berbeda yang cocok bagi kalangan lain yang berseberangan secara ekonomis dengan golongan yang tadi telah ku sebutkan. Agaknya pandanganku mengenai elitnya kesan yang melekat pada permainan billiard tidaklah salah, sebab di beberapa kota besar di negara ini, Pemda-nya menerapkan sebuah pajak khusus bagi para pemilik rumah billiard. Karena apa, yah karena pemerintah melihat keelitan tersebut sehingga mereka berpendapat bahwa para pemain wajib menyumbangkan uang mereka bagi pembangunan. Yah mungkin di situlah peran yang dimainkan pemerintah terkait dengan fungsi distribusi mereka, pemerintah mencoba mendistribusikan uang-uang yang dimiliki oleh kalangan yang memang banyak memiliknya untuk kepentingan lain yang berpihak pada kalangan kurang mampu. Yap mekanisme dari sebuah teori yang ku pelajari di kampus, entah jalannya mekanisme tersebut pada kenyataannya…
Kawan-kawanku masih saja terlarut dalam keasyikan permainan mereka, bahkan salah seorang temanku sampai tak sempat menaruh tasnya,padahal ku tahu bahwa tas tersebut sarat dengan isi setelah temanku memasukkan buku-buku yang dipinjamnya dariku. Ku taksir mungkin beratnya sampai hampir dua kilo. Yah kukira taksiranku tak meleset jauh, di tas tersebut ada dua buah buku kumpulan undang-undang dan peraturan pemerintah yang cukup tebal dan berat.
Temanku yang lain bahkan sampai alpa bahwa dirinya belum makan siang, dan ku tahu perutnya pastilah keroncongan. Ku tertawa dalam hati, yang tentunya tak kan didengar olehnya. Di sudut lain alam pikiranku diriku dibawa larut dalam pemikiran yang mencoba mencari asal dari kekuatan dari sebuah permainan yang kadang menyebabkan kelarutan dalam nuansa yang asyik menghanyutkan. Apa mungkin sebuah permainan bekerja layaknya seorang ahli hipnosis, yang dapat membuat orang yang berada dalam pengaruhnya nurut begitu saja akan keinginan sang ahli.
Tapi ketika kita larut dalam keasyikan sebuah permainan, disanalah otak kita dicekoki oleh hal-hal yang sejenak dapat membuat kita melupakan sejenak kepenatan. Namun keasyikan tersebut kurasa tidak berlebihan jika ku beranggapan bahwa mirip dengan zat adiktif yang dalam kadar tertentu dapat membuat orang kecanduan. Namun layaknya cara kerja zat adiktif pada narkoba, keasyikan yang diciptakan oleh permainan sama-sama membuat syaraf menjadi rileks dan kadang bahkan sangat inspiratif.
Permainan telah berlangsung kurang lebih dua jam, selama itulah pikiranku disibukkan dan dibuat terkagum-kagum dengan keajaiban sebuah permainan, dan keajaiban tersebut sekarang tengah berlangsung dihadapanku.
Disela keasyikan ku berkontemplasi, ku tak sadar bahwa sedari tadi ada segerombolan bocah usia SD sedang ikut memperhatikan permainan kawan-kawanku. Ku hampiri bocah terdekat dari tempat ku duduk, dan ku tanyakan maksud keberadan mereka. Bocah tersebut mengatakan, “kita juga pengen maen bang”. Ku tanya lagi apa mereka mengerti peraturan billiard, “ngerti bang, tapi kalo yang pake kartu kita kaga ngerti, soalnya kita belum boleh maen pake kartu” jawab si bocah. Lalu ku bilang padanya bahwa mungkin permainan masih lama selesainya. Dan si bocah hanya menjawab bahwa dia akan menunggu, tapi kalo sampai magrib belum selesai dia mengatakan akan pulang saja karena terlalu lama. Ku hanya tersenyum mendengar jawab anak itu.
Gila pikirku, bocah usia SD udah tertarik sama permainan kya begini! Semoga aja dia tidak meniru memainkan billliard pakai judi, kaya temen-temen ku.
Setelah kumerasa jengah juga menunggu tanpa melakukan apapun, ku ajak teman ku tuk segara meniggalkan tempat ini. Dan akhirnya kami beranjak pergi dari tempat billiard tersbut.
Di jalan salah seorang temanku memberi usul untuk mampir ke warteg yang ada di pinggir jalan. Sayangnya karena hari telah terlanjur sore, di warung tersebut kami hanya mendapatkan menu sayur bening bayam dan gorengan tahu saja. Dengan sigap penjaga warung mengambilkan nasi untuk kami semua, dan tanpa berlama-lama kami segera menuntaskan makan kami.
Di kepalaku sebenarnya terlintas keinginan tuk segera berada di kamarku yang sangat tak tertata, yah sebenarnya istirahat sembari tidur-tiduran yang ku inginkan. Sejurus kemudian muncul suara temanku yang berdarah batak sehingga udara di warung tersebut ikut tergetar menguapkan lamunanku akan kamarku. Sang kawan dari tanah karo tersebut yang memang kawan SMP ku mengajak tuk melangkahkan kaki ke warung kopi yang ada di depan SMP ku. Entah pikiran dari mana yang tiba-tiba terlintas di kepalanya dan entah kekuatan apapula yang menyebabkan kami serempak mengiyakan gagasannya. Seakan lenyap tak berbekas keinginan yang semula timbul dalam pikiranku tadi.
Kami pun bergegas menunggu angkot yang kan membawa kami ke sekolahku dulu. Kurang dari sepuluh menit menunggu angkot biru telah berhenti di hadapan kami semua, kami pun masuk ke dalam dengan menundukkan kepala. Kebetulan aku mimilih tuk duduk di kursi paling depan tepat di sebelah sopir. Sopir yang melajukan angkot kami terlihat masih muda, ku taksir usianya belumlah genap 30 tahun. Ku tawarkan rokok kepada sang sopir sebagai senjata yang ampuh tuk memulai percakapan. Dan terbukti setelah ku menawari rokok, aku segera berhadapan dengan pertanyaan si sopir, dia menanyakan apakah aku seorang mahasiswa. Segera ku mengiyakan, kemudian dia bertanya kembali mengenai biaya kuliah di kampusku. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia berniat ingin menguliahkan adik kandungnya yang akan lulus SMU tahun ini. Saat ini ku benar-benar percaya bahwa kebaikan sedekat-dekatnya berasal dari saudara kita sendiri, yang memang, kadang sepercik kebaikan bisa saja datang dari seorang yang bahkan kau tak mengenalnya. Kemudian sopir tersebut mengeluarkan rokoknya sendiri dan menyulutnya dengan korek gas, asap dari rokoknya segera tersapu oleh angin yang menyeruak masuk dari jendela angkot. Si abang menawarkan rokoknya kepadaku, ku lihat bahwa ada kesungguhan dalam tawarannya bahkan dia meletakkan rokok tersebut di dashboard tepat di depanku. Yang dari sana ku dapat melihat bahwa dia memang tidak sekedar berbasa-basi. Segera ku sambut tawarannya, dan ku juga mulai membakar rokok putih yang bungkusnya didominasi oleh warna merah dan putih. Obroalan kami pun mengembang sampai seputar masalah demo mahasiswa yang memang kerap sekali terjadi belakangan ini.
Lewat dari setengah jam angkot kami mulai menyusuri udara sore yang mulai mengelam, angin yang menerpa pipiku mulai terasa makin sejuk seiring jauhnya angkot kami meninggalkan jakarta, semakin jauh ke arah pinggiran Jakarta. Tujuan yang sekarang dilirik oleh penggiat industri pariwisata dengan penawaran alam daerah yang asri dengan janji yang tak pernah lupa mereka tawarkan yaitu menghilangkan kepenatan rutinitas kehidupan urban.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Tentang Lumba-Lumba

Cerita Tentang Tjilik Riwut

Patah tumbuh hilang berganti