Ini Cerita Tentang Pasar dan Bapakku

Kawan ku, kalian mungkin pernah mengalami dalam satu masa di hidupmu, ketika kau tidak tahu caranya untuk bangun dari keterpurukan dan keputusasaan. Aku pernah mengalami saat dimana aku sangat gentar menghadapi kenyataan dan kerasnya perjuangan hidup.

Aku pernah merasakan bahwa lebih baik aku hidup untuk hari ini dan hari ini kalau bisa terus berlanjut tanpa harus berganti dengan esok, sebab esok adalah hari yang mengharuskan ku berjuang mati-matian dan aku merasa aku tidaklah mampu memenangi setiap laga dalam pertarungan itu. Aku merasa aku betul-betul takut maju menyongsong hari depan.

Lalu saat itu, aku merasa seakan seluruh otot ku lunglai tanpa ada setetes darah yang mengaliri, saat itu aku butuh penyemangat dan butuh sandaran untuk tanganku agar bisa merangkak dan berdiri dengan tegak kembali.

Ketika aku mengalami saat seperti itu, aku bisa mencari penyemangat dalam deretan lagu-lagu koleksi ku yang aku arsip dengan rapi dalam memory harddisk komputer rumah ku. Ada beberapa lagu yang biasanya mampu untuk membuat otot ku tegang kembali teraliri energi listrik.

Namun kadang adakalanya ketika lagu-lagu tak juga mampu membuat ku menjadi berani dan sombong menerjang tantangan di esok hari. Kadang aku masih juga merasa lumpuh tak bisa berdiri, dan nyali masih saja menciut ketika aku dihadapkan dengan masalah kehidupan di hari esok.

Lalu biasanya aku segera mengeluarkan sepeda motorku dan melajukannya ke arah posar di dekat sekolah jaman ku SMA. Di pasar, yah di pasar aku mencoba mencari dan mengais keberanian yang seakan hilang menguap bagai gas dari dalam dadaku. Kenapa pasar kawan?! Pasar buat ku adalah cermin buat ku berkaca, cermin ukuran raksasa yang mampu membuat ku telanjang dan malu ketika nyali ku menciut menghadapi masalah dan beban kehidupan.

Ketika aku melihat denyut kehidupan pasar aku segera tersadar bahwa manusia sepantasnya malu untuk takut pada beban yang mendera, ketika aku takut, aku mencoba mencuri keberanian dengan memandang aktivitas kehidupan pasar pada Jakarta dini hari. Di sana aku melihat puluhan orang yang tak pernah lelah dan takut untuk menghadapi hidup dan segala macam problematikanya.

Pada waktu dini hari, ketika jutaan warga Jakarta lainnya larut dalam mimpi indahnya di bawah atap rumahnya yang nyaman, orang-orang pasar mesti berjuang dengan dinginnya udara Jakarta yang katanya bisa membuat kita terserang paru-paru basah. Mereka bergerak tak pernah diam, beres-beres barang dagangan, mengangkut dan menjajakannya di pasar, demi sebuah perjuangan agar tidak gepeng terlindas roda kehidupan.

Mereka adalah orang-orang kuat yang pantas menghuni kota besar sebesar Jakarta, bahkan aku merasa kadang mereka lebih pantas duduk dan bekerja dalam Cubicle Kerja di kantor ku. Mereka tak pernah takut, bahkan tak pernah merasa, bahwa hari esok adalah sesuatu yang sangat menyeramkan dan musti dicemaskan.

Ketika aku tersadarkan oleh para orang pasar, biasanya aku selalu ingat dengan ayahku. Tulang punggung dari keluarga kami yang kecil. Orang yang mengajarkan tentang kesederhanaan dalam hidup. Bapakku, orang hebat, dia sama hebatnya dengan orang-orang pasar di Jakarta dini hari.

Dia bekerja sampai larut malam demi kami, anggota keluarganya. Aku segera menemukan semangat lain saat aku teringat dengan bapakku. Dia bekerja untuk keluarganya sapanjang umurnya sampai hari ini. Bahkan ketika aku mungkin sudah bisa memberikan sumbangan finansial untuk keluargaku. Bapakku tak pernah lelah, berjuang sama kerasnya dengan dulu.

Berjuang dengan tabah, dengan jarang sekali mengeluh, aku segera malu ketika aku mendapati diriku meringkuk takut dengan hari esok. Padahal bapakku tak pernah mengajarkanku menjadi penakut, apalagi takut dengan sesuatu yang ada di depan, sesuatu yang belum kita lihat kenyataannya!

Terima kasih bapak, aku sadar bahwa kadang aku masih lemah, tapi sosok mu adalah tempat bagi ku mengais keberanian agar aku tak lagi menunduk takut pada hari depan. Terima kasih bapak dan orang-orang pasar, semoga Tuhan senantiasa memberikan perlindungan dalam setiap langkahmu di dunia ini, sampai dunia ini runtuh di hari kiamat.

Ketika aku memandang lelaki yang beruban, akupun teringat bapakku, sekalipun belumlah beruban bapakku. Uban bagiku adalah lambang kebapakan, dan aku yakin Bapakku adalah sepantasnya Bapak bagi anak-anaknya.

Di masjid Jumat ini, imam melagukan ayat suci Al Qur’an dengan irama yang mirip dengan yang Bapak bisa.

Kemudian di jalan besar di depan masjid, lewat di depanku pedagang kopi instan bersepeda, di ingatanku segera terlitas Bapak dengan sepeda balap Ralleigh warna peraknya.

Sepeda itu, kini aku pengendaranya, sepeda yang dulu terlampau tinggi untuk ku kendarai.

Aku tumbuh besar, sebesar bapak saat ini. Aku bekerja sekarang, kadang larut malam baru pulang. Di bus dalam perjalanan pulang, aku tahu yang dirasakan Bapak saat pulang dari kerjanya.

Pada hari yang lalu, di bus itu aku bertemu dengan orang cacat, yang tiada daya selain mengemis. Dari saku kemejaku, ku ambil uang koin, dan aku merasa ada tangan Bapak menggenggam tanganku yang mungil, menuntunku. Dua tangan, punyaku dan punya bapak, meletakkan koin warna emas ke dalam plastik punya si pengemis.

Aku berkawan, temanku sungguh orang-orang yang sederhana, dalam berpikir dan menyikapi hidup.

Aku suka dengan mereka, dengan pribadinya, dengan cara mereka memandang hidup dengan kesederhanaan. Sederhana buatku adalah kenangan yang dilekatkan oleh Bapak.

Pak, anakmu sudah besar kini, tapi aku tak ingin menjadi dewasa di depanmu. Aku ingin terus bertubuh kecil di depan mu, agar mudah buatmu mendekapku..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng Tentang Lumba-Lumba

Cerita Tentang Tjilik Riwut

Patah tumbuh hilang berganti